ULANGAN AKHIR SEMESTER
Srestha Anindyanari ( 1445151061 )
MP 2015 B
Dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dalam Pendidikan dengan
dosen Dr. Suryadi dan Dr. Desi Rahmawati, M.Pd . Saya akan menganalisis kasus
tentang “Aspek Kekerasan di Dunia Pendidikan“ dalam tinjauan
Hukum Dalam Pendidikan. Untuk menganalisis sebuah kasus, yang terkait dalam
fenomena ini, saya harus melihat dan mempelajari kasus tersebut.
Kekerasan
dapat terjadi dimana saja, termasuk di sekolah. Akhir – akhir ini masyarakat
dikejutkan dengan berita mengenai seorang guru mencubit siswinya akibatnya guru
tersebut masuk penjara. Fenomena itu terjadi pada tahun lalu terdapat disalah
satu SMP Negeri 1 Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, seorang guru mencubit
kedua muridnya karena menolak melaksanakan shalat Dhuha. Saya juga menemukan
kronologis dari fenomena diatas yaitu awal pemicu pencubitan tersebut yang
diungkapkan oleh salah satu murid bahwa mereka sedang bermain air serta
kejar-kejaran di koridor sekolah dan langsung menabrak guru biologi dan guru
biologi meminta kedua murid ke ruang Badan Konsuling (BK). Di ruang BK tersebut,
mereka diberi hukuman yang sudah termaksud penganiayaan tak sekedar mencubit
paha sampai lebam tak hanya itu, namun guru tersebut meninju pipi, dada, dan
muka. Dan setelah pulang sekolah, dia melapor ke orang tuanya di rumah. Karena
orangtua siswa tidak terima perlakuan guru tersebut, guru berjilbab ini
langsung dilaporkan ke pihak berwajib.
Setelah
membaca berita tersebut, menurut saya kekerasan sering kali dihubung-hubungkan
dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Kekerasan fisik
dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat),
penamparan, dan tendangan. Kekerasan fisik masih saja terjadi karena hukuman
fisik yang adalah warisan budaya kolonial, sejarah pendidikan kolonial sangat
berpengaruh, yakni pendidikan kolonial disini membangun pola pendidikan
tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang
menyakiti secara fisik dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang
anak atau orang lain. Dengan menggunakan metode itu dipercaya bahwa perilaku
positif anak akan terbentuk. Warisan ini dapat di identifikasi pada saat
penjajahan belanda yang banyak sekali menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk
hukuman yang paling mujarab. Tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka
atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan
kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh si korban. Dan menimbulkan
efek traumatis yang cukup lama bagi si korban.
Dan
tindakan guru tersebut yang bertentangan dengan pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa fungsi
pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dan pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas).
Dalam
tinjauan dari landasan hukum pendidikan, perbuatan guru tersebut salah karena perbuatan
tersebut sudah termaksud tindakan kriminal,
dan dapat dipenjarakan sesuai dalam pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dari kekerasan fisik dinyatakan sebagai berikut: (1) Setiap
orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah); (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah); (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); (4)
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.
Menurut
saya, seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan
santun, dan ketertiban dengan tidak menggunakan kekerasan fisik dengan menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar namun
dengan menegur dan menasehati atau memberikan saksi yang mendidik sesuai peraturan
atau tata tertib yang berlaku di sekolah masing - masing. Karena itu perlu digaris bawahi bahwa di sekolah
tidak boleh memberikan hukuman dengan kekerasan sebaiknya hukuman diberikan
dalam bentuk mendidik dengan diadakannya kesepakatan yang dimusyawarahkan
antara guru, murid, dan orang tua.
Sumber
Berita :
http://www.reportaseguru.com/2016/05/Guru-Dipenjara-Karena-Cubit-Siswi-SMP-Begini-Kronologi-Kejadian-yang-Harus-Diketahui.html
0 komentar:
Posting Komentar