Tampilkan postingan dengan label Tugas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tugas. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Juni 2016

Aspek Kekerasan di Dunia Pendidikan



ULANGAN AKHIR SEMESTER
Srestha Anindyanari  ( 1445151061 )
MP 2015 B

Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hukum Dalam Pendidikan dengan dosen Dr. Suryadi dan Dr. Desi Rahmawati, M.Pd . Saya akan menganalisis kasus tentang “Aspek Kekerasan di Dunia Pendidikan“ dalam tinjauan Hukum Dalam Pendidikan. Untuk menganalisis sebuah kasus, yang terkait dalam fenomena ini, saya harus melihat dan mempelajari kasus tersebut.
Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk di sekolah. Akhir – akhir ini masyarakat dikejutkan dengan berita mengenai seorang guru mencubit siswinya akibatnya guru tersebut masuk penjara. Fenomena itu terjadi pada tahun lalu terdapat disalah satu SMP Negeri 1 Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, seorang guru mencubit kedua muridnya karena menolak melaksanakan shalat Dhuha. Saya juga menemukan kronologis dari fenomena diatas yaitu awal pemicu pencubitan tersebut yang diungkapkan oleh salah satu murid bahwa mereka sedang bermain air serta kejar-kejaran di koridor sekolah dan langsung menabrak guru biologi dan guru biologi meminta kedua murid ke ruang Badan Konsuling (BK). Di ruang BK tersebut, mereka diberi hukuman yang sudah termaksud penganiayaan tak sekedar mencubit paha sampai lebam tak hanya itu, namun guru tersebut meninju pipi, dada, dan muka. Dan setelah pulang sekolah, dia melapor ke orang tuanya di rumah. Karena orangtua siswa tidak terima perlakuan guru tersebut, guru berjilbab ini langsung dilaporkan ke pihak berwajib.
Setelah membaca berita tersebut, menurut saya kekerasan sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia pendidikan. Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan (menggunakan tangan atau alat), penamparan, dan tendangan. Kekerasan fisik masih saja terjadi karena hukuman fisik yang adalah warisan budaya kolonial, sejarah pendidikan kolonial sangat berpengaruh, yakni pendidikan kolonial disini membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara fisik dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak atau orang lain. Dengan menggunakan metode itu dipercaya bahwa perilaku positif anak akan terbentuk. Warisan ini dapat di identifikasi pada saat penjajahan belanda yang banyak sekali menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk hukuman yang paling mujarab. Tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus ditanggung seumur hidup oleh si korban. Dan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban.
Dan tindakan guru tersebut yang bertentangan dengan pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dan pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU Sisdiknas).
Dalam tinjauan dari landasan hukum pendidikan, perbuatan guru tersebut salah karena perbuatan tersebut sudah termaksud tindakan kriminal, dan dapat dipenjarakan sesuai dalam pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dari kekerasan fisik dinyatakan sebagai berikut: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah); (2)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); (3)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); (4)   Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Menurut saya, seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban dengan tidak menggunakan kekerasan fisik dengan menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar namun dengan menegur dan menasehati atau memberikan saksi yang mendidik sesuai peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah masing - masing. Karena itu perlu digaris bawahi bahwa di sekolah tidak boleh memberikan hukuman dengan kekerasan sebaiknya hukuman diberikan dalam bentuk mendidik dengan diadakannya kesepakatan yang dimusyawarahkan antara guru, murid, dan orang tua.
Sumber Berita :
http://www.reportaseguru.com/2016/05/Guru-Dipenjara-Karena-Cubit-Siswi-SMP-Begini-Kronologi-Kejadian-yang-Harus-Diketahui.html

Selasa, 01 Oktober 2013

Telaga Sarangan, Jawa Timur,2011❤️


Telaga Sarangan, Jawa Timur,2011
saya pergi kesana waktu liburan kelas VIII smp.

Lebih jelasnya lagi :

Telaga Sarangan yang juga dikenal sebagai telaga pasir ini adalah sebuah telaga alami yang terletak di kaki Gunung Lawu, di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Berjarak sekitar 16 kilometer arah barat kota Magetan. Telaga ini luasnya sekitar 30 hektar dan berkedalaman 28 meter. Dengan suhu udara antara 18 hingga 25 derajat Celsius, Telaga Sarangan mampu menarik ratusan ribu pengunjung setiap tahunnya.

Telaga Sarangan merupakan obyek wisata andalan Magetan. Di sekeliling telaga terdapat dua hotel berbintang, 43 hotel kelas melati, dan 18 pondok wisata. Di samping puluhan kios cendera mata, pengunjung dapat pula menikmati indahnya Sarangan dengan berkuda mengitari telaga, atau mengendarai kapal cepat. Fasilitas obyek wisata lainnya pun tersedia, misalnya rumah makan, tempat bermain, pasar wisata, tempat parkir, sarana telepon umum, tempat ibadah, dan taman.
Keberadaan 19 rumah makan di sekitar telaga menjadikan para pengunjung memiliki banyak alternatif pilihan menu. Demikian pula keberadaan pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai suvenir telah memberikan kemudahan kepada pengunjung untuk membeli oleh-oleh. Hidangan khas yang dijajakan di sekitar telaga adalah sate kelinci.
Magetan juga tertolong dengan adanya potensi industri kecil setempat yang mampu memproduksi kerajinan untuk suvenir, misalnya anyaman bambu, kerajinan kulit, kerajinan sepatu, dan produk makanan khas seperti emping melinjo dan lempeng (kerupuk puli, yaitu kerupuk dari nasi).
Telaga Sarangan juga memiliki layanan jasa sewa perahu dan becak air. Ada 51 perahu motor dan 13 becak air yang dapat digunakan untuk menjelajahi telaga.
Telaga Sarangan memiliki beberapa kalender event penting tahunan, yaitu labuh sesaji pada Jumat Pon bulan Ruwah, liburan sekolah di pertengahan tahun, Ledug Sura 1 Muharram, dan pesta kembang api di malam pergantian tahun.
Pemkab setempat tengah membuat proyek jalan tembus yang menghubungkan Telaga Sarangan dengan obyek wisata Tawangmangu di Kabupaten Karanganyar. Proyek pelebaran dan pelandaian jalan curam yang menghubungkan dua daerah tersebut diharapkan selesai tahun 2007.
Obyek wisata ini dapat ditempuh dari Kota Magetan; dan lokasinya tak jauh dengan Air Terjun Grojogan Sewu, Tawangmangu (Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah).
Pemkab Magetan juga ingin mengembangkan Waduk Poncol (sekitar 10 kilometer arah selatan Telaga Sarangan) sebagai obyek wisata alternatif.

Daftar Pusaka :  http://id.wikipedia.org/wiki/Telaga_Sarangan